“Kau hancurkan aku dengan sikapmu ... ”
Sepenggal lirik diatas merupakan potongan dari sebuah lagu milik D’Masiv yang berjudul Cinta ini Membunuhku. Lagu yang dibawakan salah satu band asal kota kembang, Bandung, merupakan lagu yang paling laris di aktivasi pada tahun 2008 melalui suata bisnis telekomunikasi yang dinamakan Ring Back Tone (RBT).
RBT merupakan suatu bentuk penggunaan IT dalam bidang telekomunikasi dimana konsumen sebagai pengguna suatu jaringan dapat menikmati lagu favoritnya tidak hanya dalam bentuk CD/VCD tetapi dalam bentuk lain. Konsumen dapat secara langsung mendengarkannya sebagai nada tunggu ketika menghubungi orang lain. Dalam melakukan aktivasi, konsumen tidak lagi melakukan transaksi dalam bentuk konvensional tetapi melalui teknis pembayaran sesuai provider masing-masing. Berbeda dengan proses download, konsumen juga tidak sepenuhnya dapat memiliki lagu tersebut tetapi hanya dapat mendengarkannya dalam kurun waktu tertentu.
RBT sendiri merupakan suatu inovasi baru didunia musik ditengah semakin ramainya hobby membajak dikalangan masyarakat. Menurut Anton Wahyudi, Manajer A & R NuBuzz, RBT adalah sebuah alternatif distribusi yang saat ini paling diminati label dan artis. Bahkan, Once Dewa pernah meluncurkan satu lagu yang hanya ditujukan untuk pasar RBT. “Cara ini lebih cepat mendatangkan uang,” ujar pria yang juga menjadi Music Director Radio Prambors ini. Walaupun kehadiran RBT dinilai memiliki banyak sisi positif, beberapa pengamat musik khawatir terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya. Mereka takut para musisi hanya mempercantik lagu mereka hanya di bagian reffrein sementara di bagian lain terkesal asal sehingga akan semakin banyak mucul musisi-musisi instant.
RBT dalam penggunaanya tidak hanya diisi oleh lagu-lagu Indonesia atau mancanegara yang sedang booming saja. Dalam penggunaanya yang lebih lanjut, di Makasar, pada tahun 2007 PT. Telkom Divre VII Makassar pernah menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menciptakan RBT telepon flexi dan kartu halo, Telkomsel, dengan menggunakan lagu-lagu khas daerah Bugis-Makassar. Ini merupakan suatu langkah baru yang cukup signifikan dalam memperkenalkan dan melestarikan musik daerah sebagai warisan leluhur yang harus terus kita pantau keberadaannya. Namun, pada perkembangannya di masa sekarang ini, perusahaan provider telekomunikasi cenderung lebih memilih lagu-lagu yang sedang ‘naik daun’ sebagai fokus mereka. Tentu saja ini tidak terlepas dari konsumen sebagai ‘sumber uang’ yang umumnya memiliki ketertarikan lebih pada lagu-lagu tersebut.
Berbicara tentang musik tradisional yang merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia, tentu tidak dapat dipisahkan dari peranan kita sebagai anak bangsa yang berkewajiban melestarikannya. Kita sebagai ‘tulang punggung bangsa’ seharusnya sadar benar akan hal ini. RBT merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperkenalkan musik tradisional kepada khalayak ramai. Ini setidaknya langkah yang cukup baik karena RBT sendiri bagaikan ‘lumbung emas’ yang cukup banyak diminati masyarakat pada masa sekarang. Lihat saja, Album Menggatang Utus yang ber-genre pop modern dari Kalimantan Tengah. Album milik suku Dayak yang didalamnya terdapat 10 lagu daerah ini diproduksi oleh mahasiswa/i dan pekerja seni asal Kalimantan Selatan yang ada di Yogyakarta. Yang menarik adalah semua lagu yang terdapat dalam album ini tidak hanya dapat didengar melalui kaset dan CD saja tetapi dapat juga melalui aktivasi RBT pada provider yang telah disediakan. Fakta ini setidaknya dapat membuktikan kalau RBT pada masa sekarang ini dapat menjadi sarana pelestarian musik daerah. Tentu saja, masyarakat sebagai konsumen harus dibuat senyaman mungkin. Sehingga tidak menutup kemungkinan kalau nantinya yang menempati posisi teratas tangga lagu yang paling banyak diaktivasi adalah lagu-lagu daerah.
Kita tentunya tidak akan mau kalau suatu hari nanti satu persatu musik daerah milik kita di klaim oleh negara lain seperti yang terjadi sebelumnya. Kesalahan sepenuhnya bukan hanya di tangan ‘sang pencuri’ saja, tetapi juga di tangan ‘sang pemilik’, bangsa kita sendiri. Kalau saja kita dapat mengenal dan senantiasa melestarikan apa yang telah menjadi milik kita, klaim tidak berdasar tidak akan mungkin terjadi di masa lampau dan masa yang akan datang. Kita juga harus sadar bahwa musik daerah sebagai salah kebudayaan yang kita miliki merupakan identitas bangsa kita. Kalau Negeri Belanda terkenal dengan kincir-kincir anginnya, mengapa negeri kita tidak bisa terkenal dengan Tari Pendet atau Pakaian Batik nya? Pertanyaan ini seharusnya mampu menggelitik setiap kita yang membacanya.
Lebih jauh, bangsa Indonesia yang dikaruniai beragam kebudayaan seharusnya mampu menjadikan ini sebagai suatu daya beli bagi bangsa lain. Betapa tidak, Singapura saja yang luas negaranya tidak sampai sepersepuluh luas negara kita cukup mampu berbicara banyak di bidang pariwisata termasuk dalam pengenalan kebudayaan mereka. Mengapa bangsa kita tidak? Apakah bangsa kita hanya diisi oleh kaum pengecut saja? Yang hanya mampu berpikir ketika dipaksa atau yang merasa membutuhkan ketika sudah tidak ada. Ini bukan sepenuhnya tugas pemerintah, tetapi kita semua harus ikut berpartisipasi aktif. Kita tidak sedang berada dalam zona aman yang menunggu datangnya ombak. Kita sedang dalam zona kritis dimana identitas bangsa kita sedikit demi sedikit mulai merapuh. Majulah bangsaku !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar