Jumat, 03 September 2010

Malaysia - Indonesia



Belum lagi berakhir duka bangsa Indonesia atas klaim Malaysia terhadap Batik, kali ini giliran Tari Pendet asal Bali yang menjadi sasaran .
Apa sebenarnya yang menyebabkan hal yang sama bisa terulang kembali? Apakah Indonesia sudah tidak peduli dengan property nya sendiri?
Malaysia, negara yang acapkali menjadi topik pembicaraan baik itu di kalangan pers ataupun mahasiswa, lagi-lagi membuat ulah di hati rakyat Indonesia. Berawal dari kemenangan publik Malaysia atas pulau sipadan dan ligitan dari Mahkamah Internasional pada tanggal 17 desember 2002, Malaysia satu persatu mengambil hak milik Indonesia. Yang terakhir adalah tari pendet asal Bali. Untungnya pada 26 agustus 2009, Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan Enigmatic Malaysia di Discovery Channel.
Sebelumnya Malaysia juga sudah terlebih dulu mengajak bangsa Indonesia untuk ‘berperang’, yang  kebanyakan dimenangi oleh Malaysia tentunya. Anehnya Malaysia malah ‘keasyikan’ dengan kegiatan ‘mencurinya’ itu. Memang menakjubkan! Seperti orang pintar mengatakan “kalau semua pencuri mengaku hasil curiannya maka penjara pasti penuh”. Itu adalah lelucon yang sering diidentikkan dengan Malaysia. Kata-kata itu mulai terdengar di telinga saat mereka satu persatu mereka melakukan klaim terhadap kebudayaan Bangsa Indonesia, yang notabene adalah bangsa yang ramah. Motif Batik Parang yang merupakan pakaian tradisional yang berasal dari Yogyakarta dan Angklung yang merupakan alat kesenian Jawa di klaim sebagai kesenian asli mereka. Tidak cukup sampai disitu saja. Tidak langsung ‘tidur dengan pulas’, melainkan terus mencari celah untuk ‘mencuri’ kebudayaan dari bangsa Indonesia. Hasilnya adalah lagu Rasa Sayange, beberapa kesenian dari suku Dayak dan Reog Ponorogo yang berhasil mereka ambil.
Dan pernah suatu kali Malaysia melalui menteri pariwisatanya mengatakan “ Kami merasa berhak untuk melestarikan budaya bangsa Indonesia karena kami adalah bangsa serumpun”. Kata-kata ini semakin membuat panas rakyat Indonesia. Mengapa tidak, setelah ‘mencuri’, malah berdalih dengan mengatakan bangsa serumpun. Bangsa serumpun bukan berarti bisa sesukanya menyatakan kebudayaan bangsa lain sebagai miliknya. Bangsa serumpun seharusnya adalah bangsa yang saling menghargai bukan sebaliknya. Lihat saja Barongshai yang merupakan kesenian asli dari cina. Kita tidak mengataan bahwa Barongsai adalah kebudayaan kita walupun banyak keturunan cina yang menetap di Indonesia dan mampu untuk memainkan serta membuatnya. Sungguh merupakan kesalahan yang teramat besar jika kita sampai melakukan hal senada seperti yang Malaysia telah lakukan buat kita.
Memang tidak salah jika mereka mengatakan kita adalah bangsa serumpun. Malaysia dahulunya adalah orang Indonesia yang terpisahkan karena  adanya imperialisme.  Jadi dapat ‘ditolerir’ ketika banyak kebudayaan Indonesia yang diamalkan dan diturunkan kepada generasi mereka selanjutnya. Yang menjadi masalah adalah ketika kebudayaan tersebut tidak ‘mendapat cap hitam diatas putih’ sebagai hak milik bangsa Indonesia. Dan kemudian digunakan oleh pihak lain (baca:Malaysia) untuk kepentingan intern mereka. Sungguh tidak adil!
Sejarah menceritakan hubungan Indonesia dan Malaysia dahulu adalah cukup dekat. Malaysia juga menyadari akan hal itu. Keadaan mulai berbeda ketika Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Malaysia saat itu menyatakan slogan “Malaysia boleh”. Sejak itu orang-orang negeri jiran mulai merasa dirinya eksklusif dan tidak mau ‘disamain’ lagi sebagai rumpun Melayu-Indonesia. Dan beberapa kesalahan membuat orang Indonesia di cap sebagai bangsa yang inferior sehingga muncul lah istilah indon. Situasi juga semakin memanas karena kekalahan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002 silam. Dan di akhir tahun 2007, tepatnya tanggal 10-11 Desember, rapat kerja Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Jakarta juga berhasil mengungkapkan bahwa kalangan akademis Malaysia ternyata mengincar naskah-naskah Melayu klasik Nusantara sampai ke pelosok timur bangsa kita.
Semua ini merupakan peringatan bagi kita, bukan hanya dijadikan tangisan sesaat saja, tetapi harus ada tindak lanjut yang benar-benar nyata.  Semua unsur harus ikut terlibat aktif, tidak hanya pemerintah melainkan kita semua sebagai warga negara Indonesia.  Misalnya saja, kita telah dikarunia oleh ribuan pulau tetapi masih banyak yang belum mempunyai nama. Apakah kita mau hal yang sama terulang kembali? Inikah yang namanya cinta tanah air seperti pada salah satu syair Lagu Indonesia Raya yang selalu kita kumandangkan? Sebenarnya kita mempunyai banyak kebudayaan tetapi tidak banyak yang mau mempelajari dan melestarikannya. Kita boleh sesekali melihat negeri India. Tidak salah 2 dari 10 orang terkaya di dunia berasal dari India. Ini semua tidak lepas dari kecintaan mereka terhadap kebudayaan nya sendiri. Terbukti dari setiap film ataupun musik yang beredar di luaran selalu ada didalamnya penambahan unsur budaya yang bertujuan memperkenalkan budaya mereka kepada orang lain. Mungkin cara ini dapat kita gunakan sebagai bahan perbaikan kita kedepannya. Atau lihat negara yang pernah hancur lebur yang sekarang menjadi  negara kedua terkaya didunia, Jepang. Mereka mengharuskan kepada setiap orang yang berkunjung ke negaranya, baik itu secara langsung atau tidak langsung, untuk mempelajari kebudayaan mereka terlebih dahulu.
Kita bisa sedikit lega. Sejak bangsa Indonesia kehilangan batik, beberapa instansi ada yang mewajibkan penggunaan  batik di hari tertentu. Yang juga tidak kalah menarik, kawula muda,yang identik dengan cara hidup glamour (baca:hedonisme) sudah tidak canggung dalam penggunaan batik di berbagai acara dan tempat. Ini merupakan suatu kemajuan bangsa tetapi apakah kita harus menunggu ‘dicuri’ dahulu baru kita mau menggunakannya?
Pemerintah sebagai badan eksekutif negara juga tidak boleh lengah dalam bertindak. Cepat, tegas dan pintar adalah yang harus dimiliki pemerintah saat ini. Pemerintah harus secepat mungkin mendata dan mendaftarkan semua kebudayaan milik Indonesia agar ‘pencuri’ tidak bisa berbuat sesukanya lagi. Dan lagi, kita tidak boleh kalah dengan negara sebelah soal urusan pemasaran pariwisata kita ke luar negeri. Dari sektor ini kita akan banyak dikenal oleh bangsa lain. Banyak hal menarik, seperti : tarian, makanan, kerajinan tangan dan berbagai jenis kebudayaan Indonesia lainnya yang bangsa lain yang belum ketahui. Apabila khalayak asing sudah mengenal kebudayaan Indonesia , tentunya akan mempersulit klaim budaya yang ‘tidak berdasar ‘ terjadi lagi. Dan tidaklah menjadi hal yang mustahil apabila suatu saat nanti Indonesia akan menjadi negara dengan pendapatan terbesarnya dari sektor pariwisata. Kita tunggu saja!
Bangsa kita memang masih jauh dari sempurna. Kita masih  berkutat dengan ‘budaya korupsi’, kemiskinan, pengangguran dan keamanan. Tetapi kalau kita semua bergandengan tangan, semua persoalan bangsa ini pasti dapat teratasi. Hillary Clinton pernah mengatakan, “Indonesia adalah model dunia masa depan dimana demokrasi, modernitas, dan Islam berada dalam satu wadah yang sama “.  Pernyataan ini sedikit banyak seharusnya bisa menyayat setiap telinga kita yang mendengarnya. Kalau orang lain berani mengatakan Iya, pantaskah kita mengatakan tidak?
Banyak solusi yang ditawarkan. Sekarang tinggal bagaimana kita menjalankannya.
Cukuplah sudah air mata ibu pertiwi yang jatuh membasahi tanah air kita.
Cukuplah sudah teriakan anak bangsa yang merasakan kehilangan akan barang miliknya.
Majulah Indonesia ku.
Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar