Jumat, 03 September 2010

--- Sampah, Pengolahan dan Pemanfaatannya ---



Setiap orang pasti sering mendengar satu kata ini. Ya, itulah sampah. Tidak hanya sering diucapkan tetapi sering juga dilihat keberadaannya, terutama di kota-kota besar di negara kita, Indonesia. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sampah diartikan sebagai barang atau benda yg dibuang karena sudah tidak terpakai lagi. Sampah itu sendiri terdiri dari dua jenis yaitu sampah anorganik dan sampah organik. Sampah anorganik merupakan sampah yang terdiri atas unsur yang tidak dapat diproses secara alami sedangkan sampah organik merupakan sampah yg berasal dr tumbuh-tumbuhan dan mudah mengalami daur ulang. Dan kedua jenis sampah inilah yang acapkali terlihat keberadaannya dimana saja.
Selama ini sampah menjadi masalah yang cukup krusial dalam penanganannya, terutama di kota-kota besar. Menurut catatan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008, setiap orang di Jakarta menghasilkan rata-rata sampah 2,9 liter per hari. Dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 12 juta jiwa, termasuk para komuter, tiap hari mereka menimbun 26.945 meter kubik atau sekitar 6.000 tong sampah. Dari fakta inilah tercetus ide bagi beberapa kalangan untuk mengelola sampah yang sudah ada sehingga dapat digunakan kembali. Salah satu pihak yang sudah cukup lama bergelut dengan bisnis pengelolaan sampah adalah Rumah Perubahan. Rumah Perubahan yang bertempat di Jl. Raya Hamkam, Pondok Jati Murni Bekasi ini didirikan oleh Hidayat SE bersama Renald Kasali Ph.D. Di tempat inilah mereka melakukan bisnis pengelolaan sampah yang beromzet puluhan juta rupiah perbulan.
Rumah Perubahan didirikan sebagai upaya untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik melalui misi perubahan, baik pada level individu, komunitas, organisasi usaha atau sosial dan pemerintah. Rumah Perubahan berperan sebagai katalisator, pusat jejaring dan penggerak untuk mewujudkan potensi itu menjadi sebuah manfaat. “Dimana ada belenggu yang membatasi potensi itu, disitu kami terlibat”, jelas Hidayat. Hingga kini pengelola Rumah Perubahan telah mendampingi sekitar 3000 kepala keluarga yang berdomisili di sekitar kompleks itu, mereka dibina menjadi pengusaha-pengusaha kecil berprestasi diberbagai sektor seperti perikanan hingga bisnis pengelolaan sampah. Bagi Rumah Perubahan, sampah tidak ada yang dibuang, melainkan diolah dan dioptimalkan kegunaannya sehingga mengarah pada kondisi zero waste atau tidak ada lagi barang sisa.
Konsep lain yang telah dilakukan masyarakat dalam pengolahan sampah adalah Waste Management yang telah degeluti oleh Hidayat sejak tahun 1993. Caranya adalah dengan memasang tong sampah kosong di setiap jalan utama kampung lalu dikumpulkan. Setelah terkumpul, kemudian sampah dimasukkan kedalam mesin sortasi. Sampah organik dijadikan kompos, sementara anorganik mengalami proses lebih panjang, yakni melewati mesin pencacah dan pencuci. Hasilnya, sampah plastik yang kondisinya masih bagus dijual untuk didaur ulang oleh pihak lain, sedangkan sampah yang tidak bisa diolah lagi akan dipadatkan untuk dijadikan biomassa. Saat ini Hidayat tengah menjajaki kerja sama dengan Jepang untuk teknologi pengubah plastik menjadi solar dan pengekstraksi gas metan yang ada dalam tanah.
Tentu aktivitas pegelolaan dan pemanfaatan sampah sangat bermanfaat. Selain sampah menjadi sumber pendapatan bagi warga, dengan kita mengelola sampah juga bermanfaat mengurangi dampak global warming. Meraup keuntungan dari barang bekas adalah sebuah alternatif yang cukup baik daripada menimbunnya di rumah menjadi benda tak berguna dan akhirnya menjadi sampah. Di tengah kondisi ekonomi negara kita yang seperti ini, bisnis ini cukup membantu dalam menyerap tenaga kerja.  Perputaran penggunaan barang rongsokan yang diperjualbelikan tidak akan habis karena nantinya akan menjadi bahan daur ulang yang siap dipakai lagi. Lebih jauh, masyarakat semakin mengenal teknologi pemanfaatan dan pengelolaan sampah serta dampaknya pada kehidupan manusia. Dan pastinya, akan banyak pihak yang menggantungkan kehidupannya pada bisnis pengelolaan sampah tersebut.
Berbeda dengan kondisi para pebisnis sampah, nasib  para “pahlawan lingkungan” atau yang lebih sering dikenal dengan nama pemulung tidaklah seberuntung mereka. Berpenghasilan tidak lebih dari Rp.20.000 setiap hari tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Pemerintah sebagai badan eksekutif, seperti tertulis dalam pasal 34 UUD 1945 seharusnya memperhatikan nasib pemulung dan tidak sekadar menjadikan mereka sebagai objek politis sebagai lokasi untuk mencari simpati seperti dalam pemilu silam. Lebih jauh, pemerintah harus membuat program-program untuk memberdayakan dan meningkatakan ketrampilan para “pahlawan lingkunagan” ini. Fasilitas kesehatan dan pendidikan juga harus disubsidi atau jika memungkinkan diberikan secara cuma-cuma, serta program pembangunan rumah untuk pemulung dapat terus dijalankan dan ditingkatkan. Belum lagi, paradigma masyarakat yang mengatakan bahwa profesi sebagai pemulung yang dianggap buruk harus dihilangkan karena pemulung sebenarnya adalah salah satu pihak yang membantu pemerintah dalam mengurangi sampah.
Kita juga sebagai bagian dari bangsa Indonesia tidak boleh hanya diam saja melihat saudara-saudara kita dalam hidup yang serba kekurangan. Kita bisa ikut membantu mereka secara tidak langsung, misalnya: dengan menyumbangkan baju seragam, tas, sepatu, serta buku dan alat-alat tulis milik kita yang masih layak dipakai. Kita adalah satu, satu didalam bangsa Indonesia. Penderitaan mereka seharusnya menjadi penderitaan kita juga.

--- Teknologi Informasi: Tujuan, Prilaku dan Dampaknya ---



Teknologi pada hakikatnya mengacu pada segala sesuatu yang diciptakan untuk mempermudah pemenuhan kebutuhan manusia. Teknologi adalah keseluruhan sarana untuk menyediakan barang-barang yg diperlukan bagi kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia. Ini semua tidak terlepas dari manusia sebagai makhluk yang memiliki cipta, rasa dan karsa yang tanpa hentinya akan melakukan perubahan dalam hidupnya. Sebagai implikasinya, teknologi akan terus berkembang seiring dengan keinginan manusia untuk memperbaiki kehidupannya.
Salah satu teknologi yang ramai untuk diperbincangkan adalah teknologi informasi. Teknologi informasi adalah salah satu teknologi yang dikembangkan pada abad modern yang merupakan penerapan dari ilmu fisika, matematika dan beberapa ilmu lainnya. Teknologi Informasi mulai berkembang sejak Alexander G. Bell pertama kali menemukan telepon. Pada akhirnya, Antoni Meucci lah yang ditetapkan sebagai penemu telepon melalui Kongres AS , juni 2002 silam. Sejak saat itu, penemuan dan terobosan terus dilakukan sampai sekarang. Hingga kini, perkembangan teknologi informasi menjadi perhatian di banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Perkembangan ini juga semakin cepat karena didukung oleh era globalisasi yang terus berkembang. Yang terjadi adalah kalangan penemu dan peneliti menemukan teknologi, kaum intelektual menerapkannya, kalangan pendidikan, sosial dan pertahanan keamanan merasakan manfaatnya dan kalangan hukum mengatur pemanfaatannya.
Salah satu penerapan teknologi informasi yang mutakhir adalah Internet. Internet pada masa sekarang ini tidak hanya dapat digunakan melalui PC (Personal Computer) saja. Lebih jauh, pemanfaatannya dapat dirasakan melaui perangkat lain seperti PDA (Pocket Digital Assistant), Netbook dan HP. Penggunanya sendiri tidak mengenal adanya batasan umur. Bahkan di beberapa kota besar di Indonesia, Internet juga telah merambah masuk ke dunia anak-anak. Anak-anak sudah tidak lagi bermain dengan bulatnya kelereng. Kebebasan dalam penggunaan ini sedikit banyak akan berdampak pada pola pikir user-nya.
Di kalangan mahasiswa sendiri penggunaan internet menjadi cukup penting tidak hanya sekedar browsing saja. Hal lain yang dapat dilakukan adalah kita dapat mempermudah komunikasi dengan beragam orang, diberbagai tempat tanpa mengenal waktu, sama hal nya ketika menggunkan handphone atau perangkat sejenisnya. Ini menjadi point penting untuk kalangan mahasiswa itu sendiri. Apalagi kebanyakan mahasiswa adalah kaum pendatang yang meninggalkan kota mereka untuk menetap di kota lain, bahkan ada yang sampai ke negeri seberang. Semua ini dilakukan demi sebuah masa depan yang lebih baik.
Penggunaan internet dan perangkat HP sejenisnya dalam mempermudah penyampaian informasi cukup banyak faedah terutama bagi kalangan mahasiswa. Merantau ke kota orang dengan hanya sedikit bekal, bagi sebagian orang tentunya, mengharuskan ‘kaum penerus bangsa’ ini harus benar-benar jeli dalam mengambil setiap keputusan dan persoalan yang ada. Jika tidak demikian, bukan tidak mungkin statusnya sebagai mahasiswa berubah menjadi ‘sampah’di kota baru, tempat mereka berpijak. Semua hal ini bergantung pada bagaimana cara kita mengkondisikan diri di tengah keadaan yang belum pernah kita alami sebelumnya.
Acara tegur sapa merupakan hal yang biasa dilakukan melalui perangkat HP sejenisnya. Kebanyakan dilakukan kepada keluarga, pacar atau orang-orang terdekat dengan mereka. Duduk sambil memegang HP ditangannya selama berjam-jam adalah hal yang lumrah. Tidak jarang dijumpai kegiatan seperti itu di kalangan mahasiswa khususnya di tempat-tempat tertentu seperti daerah kosan. Tempat yang nyaman dengan posisi yang seenak badan menjadi hal yang harus dipertimbangkan tentunya. Waktu seakan bergerak lebih cepat dibandingkan biasanya. Perkerjaan acapkali menjadi tertunda dan terbengkalai kalau kita tidak bisa memperkirakan waktu yang kita miliki. Memang tidak salah jika hanya sekedar sharing kepada orangtua atau teman terdekat kita. Tetapi tidak bisa dikatakan benar jika kegiatan lain yang menjadi imbasnya. Menentukan prioritas dan pembagian waktu yang tepat adalah hal yang harus dilakukan terlebih dahulu agar hal seperti ini tidak terjadi.
Tidak kalah menarik dengan perangkat HP sejenisnya, pemakaian internet juga dapat digunakan untuk keperluan yang hampir sama. Kita tidak hanya dapat mendengar suara saja, wajah dari lawan kita bicara juga dapat ditampilkan melalui suatu fitur tambahan. Selain karena tidak dikenai biaya operasional, hanya dikenai biaya akses saja, penggunaan internet juga semakin ramai dengan dikeluarkannya pernagkat HP dengan merk tertentu yang dapat mengakses jaringan ke luar kapan saja. Tentu saja budget yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Sehingga perangkat jenis ini hanya dimiliki oleh kalangan menengah ke atas saja.
Bagaimanapun, teknologi informasi, khususnya bagi kalangan mahasiswa, cukup banyak membantu setiap orang yang terlibat didalamnya. Walaupun tidak semua berdampak positif, tetapi hal-hal demikian dapat diminimalis oleh penggunanya. Menentukan waktu sebelum memulai pembicaraan atau pemakaian fasilitas lain adalah hal yang wajib dilakukan. Ditambah lagi, pemakaian yang dilakukan secara berlebihan harus dihindari. Jika tidak, kita akan banyak ‘kehilangan’ waktu tanpa tahu kemana waktu itu ‘pergi’.
Belajar menghargai waktu merupakan salah satu ilmu yang harus dikuasai terlebih dahulu. Karena setiap manusia hanya dibekali waktu 1x24 jam dalam sehari, 30 hari dalam sebulan dan 12 bulan dalam satu tahun. Kesadaran akan detik ini hanya akan ada pada hari ini dan tidak dapat diulang kembali menjadi hal yang mutlak. Bijaksanalah dalam menempatkan waktu yang ada.

--- RBT, Sarana Eksistensi Musik Daerah ---


“Kau hancurkan aku dengan sikapmu ... ”
Sepenggal lirik diatas merupakan potongan dari sebuah lagu milik D’Masiv yang berjudul Cinta ini Membunuhku. Lagu yang dibawakan salah satu band asal kota kembang, Bandung, merupakan lagu yang paling laris di aktivasi pada tahun 2008 melalui suata bisnis telekomunikasi yang dinamakan Ring Back Tone (RBT).
RBT merupakan suatu bentuk penggunaan IT dalam bidang telekomunikasi dimana konsumen sebagai pengguna suatu jaringan dapat menikmati lagu favoritnya tidak hanya dalam bentuk CD/VCD tetapi dalam bentuk lain. Konsumen dapat secara langsung mendengarkannya sebagai nada tunggu ketika menghubungi orang lain. Dalam melakukan aktivasi, konsumen tidak lagi melakukan transaksi dalam bentuk konvensional tetapi melalui teknis pembayaran sesuai provider masing-masing. Berbeda dengan proses download, konsumen juga tidak sepenuhnya dapat memiliki lagu tersebut tetapi hanya dapat mendengarkannya dalam kurun waktu tertentu.
RBT sendiri merupakan suatu inovasi baru didunia musik ditengah semakin ramainya hobby membajak dikalangan masyarakat. Menurut Anton Wahyudi, Manajer A & R NuBuzz, RBT adalah sebuah alternatif distribusi yang saat ini paling diminati label dan artis. Bahkan, Once Dewa pernah meluncurkan satu lagu yang hanya ditujukan untuk pasar RBT. “Cara ini lebih cepat mendatangkan uang,” ujar pria yang juga menjadi Music Director Radio Prambors ini. Walaupun kehadiran RBT dinilai memiliki banyak sisi positif, beberapa pengamat musik khawatir terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya. Mereka takut para musisi hanya mempercantik lagu mereka hanya di bagian reffrein sementara di bagian lain terkesal asal sehingga akan semakin banyak mucul musisi-musisi instant.
RBT dalam penggunaanya tidak hanya diisi oleh lagu-lagu Indonesia atau mancanegara yang sedang booming saja. Dalam penggunaanya yang lebih lanjut, di Makasar, pada tahun 2007 PT. Telkom Divre VII Makassar pernah menandatangani kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menciptakan RBT telepon flexi dan kartu halo, Telkomsel, dengan menggunakan lagu-lagu khas daerah Bugis-Makassar. Ini merupakan suatu langkah baru yang cukup signifikan dalam memperkenalkan dan melestarikan musik daerah sebagai warisan leluhur yang harus terus kita pantau keberadaannya. Namun, pada perkembangannya di masa sekarang ini, perusahaan provider telekomunikasi cenderung lebih memilih lagu-lagu yang sedang ‘naik daun’ sebagai fokus mereka. Tentu saja ini tidak terlepas dari konsumen sebagai ‘sumber uang’ yang umumnya memiliki ketertarikan lebih pada lagu-lagu tersebut.
Berbicara tentang musik tradisional yang merupakan salah satu warisan kebudayaan Indonesia, tentu tidak dapat dipisahkan dari peranan kita sebagai anak bangsa yang berkewajiban melestarikannya.  Kita sebagai ‘tulang punggung bangsa’ seharusnya sadar benar akan hal ini. RBT merupakan salah satu solusi yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperkenalkan musik tradisional kepada khalayak ramai. Ini setidaknya langkah yang cukup baik karena RBT sendiri bagaikan ‘lumbung emas’ yang cukup banyak diminati masyarakat pada masa sekarang. Lihat saja, Album Menggatang Utus yang ber-genre pop modern dari Kalimantan Tengah. Album milik suku Dayak yang didalamnya terdapat 10 lagu daerah ini diproduksi oleh mahasiswa/i dan pekerja seni asal Kalimantan Selatan yang ada di Yogyakarta. Yang menarik adalah semua lagu yang terdapat dalam album ini tidak hanya dapat didengar melalui kaset dan CD saja tetapi dapat juga melalui aktivasi RBT pada provider yang telah disediakan. Fakta ini setidaknya dapat membuktikan kalau RBT pada masa sekarang ini dapat menjadi sarana pelestarian musik daerah. Tentu saja, masyarakat sebagai konsumen harus dibuat senyaman mungkin. Sehingga tidak menutup kemungkinan kalau nantinya yang menempati posisi teratas tangga lagu yang paling banyak diaktivasi adalah lagu-lagu daerah.
Kita tentunya tidak akan mau kalau suatu hari nanti satu persatu musik daerah milik kita di klaim oleh negara lain seperti yang terjadi sebelumnya. Kesalahan sepenuhnya bukan hanya di tangan ‘sang pencuri’ saja, tetapi juga di tangan ‘sang pemilik’, bangsa kita sendiri. Kalau saja kita dapat mengenal dan senantiasa melestarikan apa yang telah menjadi milik kita, klaim tidak berdasar tidak akan mungkin terjadi di masa lampau dan masa yang akan datang. Kita juga harus sadar bahwa musik daerah sebagai salah kebudayaan yang kita miliki merupakan identitas bangsa kita. Kalau Negeri Belanda terkenal dengan kincir-kincir anginnya, mengapa negeri kita tidak bisa terkenal dengan Tari Pendet atau Pakaian Batik nya? Pertanyaan ini seharusnya mampu menggelitik setiap kita yang membacanya.
Lebih jauh, bangsa Indonesia yang dikaruniai beragam kebudayaan seharusnya mampu menjadikan ini sebagai suatu daya beli bagi bangsa lain. Betapa tidak, Singapura saja yang luas negaranya tidak sampai sepersepuluh luas negara kita cukup mampu berbicara banyak di bidang pariwisata termasuk dalam pengenalan kebudayaan mereka. Mengapa bangsa kita tidak? Apakah bangsa kita hanya diisi oleh kaum pengecut saja? Yang hanya mampu berpikir ketika dipaksa atau yang merasa membutuhkan ketika sudah tidak ada. Ini bukan sepenuhnya tugas pemerintah, tetapi kita semua harus ikut berpartisipasi aktif. Kita tidak sedang berada dalam zona aman yang menunggu datangnya ombak. Kita sedang dalam zona kritis dimana identitas bangsa kita sedikit demi sedikit mulai merapuh.  Majulah bangsaku !

--- Mental kalkulator, benar ga sih ? ---


Berbicara tentang dunia pendidikan, sangatlah berhubungan erat dengan yang namanya “teknologi”. Dunia pendidikan akan dipengaruhi dan berubah seiring dengan perkembangan teknologi. Sehingga dapat dikatakan bahwa dunia pendidikan tidak akan lepas dari teknologi.
Dalam dunia pendidikan itu sendiri, ada yang disebut sebagai perangkat pembelajaran. Tentu tidak afdal  kalau kita tidak menyebutkan perangkat yang bersifat kognitif. Misalnya saja,  penggunaan alat bantu hitung seperti kalkulator, komputer dan sejenisnya. Hal ini tentu memiliki effect atau dampak yang kemudian akan muncul, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Dampak yang sedikit banyak akan mempengaruhi kondisi penggunanya kedepannya.
Pendidikan matematika khususnya, telah cukup lama memahami manfaat kalkulator sebagai alat bantu hitung dalam belajar matematika. Sejak 1976, National  Council of Teachers of  Mathematics, yang disingkat dengan NCTM, telah berusaha mempublikasikan bermacam-macam artikel, buku-buku. dan pernyataan posisi. Semuanya menyarankan penggunaan kalkulator secara reguler dalam pengajaran matematika pada semua tingkatan. Pada pernyataan posisinya pada tahun 2005 tentang perhitungan dan kalkulator, NCTM menjelaskan pandangannya yang telah berlangsung lama, bahwa ada tempat yang penting dalam kurikulum untuk pengunaan kalkulator dan pengembangan berbagai jenis keterampilan perhitungan.
Sayangnya penggunaan kalkulator di masyarakat dan juga dukungan profesional untuk penggunaan kalkulator pada dunia pendidikan, khususnya di sekolah, kurang mendapat sambutan, terutama pada tingkat sekolah dasar. Suara miring dari mereka yang tidak setuju dengan gerakan perubahan dalam pengajaran matematika sering memandang penggunaan kalkulator sebagai pembuat bodoh, yang akan merusak mental seseorang. Tetapi benarkah bahwa orang yang bergantung pada kalkulator atau alat bantu hitung sejenisnya memiliki mental yang kurang baik atau disebut mental kalkulator ?
Penggunaan kalkulator sebenarnya cukup berdampak positif bagi penggunanya. Kalkulator ternyata dapat berarti lebih dari hanya sekedar alat untuk menghitung. Kalkulator dapat digunakan secara efektif untuk mengembangkan konsep. Buku Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics memuat beberapa penelitian jangka panjang yang telah menunjukkan bahwa siswa kelas 4-6 sekolah dasar, yang menggunakan kalkulator,  meningkat pemahaman konsepnya dengan menggunakan kalkulator.
Selain itu, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan kalkulator dapat memperbaiki kemampuan pemecahan soal dari pelajar pada segala tingkatan untuk semua kelas. Mekanisme perhitungan kadang dapat memecah perhatian siswa dari problem yang mereka kerjakan. Sambil memahami arti dari operasi pada kalkulator, siswa diperkenalkan dengan soal nyata dengan bilangan-bilangan yang realistis. Walaupun bilangannya mungkin di atas kemampuan mereka, tetapi kalkulator membuat soal nyata ini dapat diselesaikan. Ditambah lagi, kalkulator sebagai alat bantu hitung dapat membuat segala sesuatu menjadi lebih efektif dalam pemakaian waktunya.
Setiap tindakan pasti mempunyai pengaruh positif dan negatif, begitu juga dengan penggunanan kalkulator sebagai alat bantu hitung. Secara keseluruhan, penelitian telah menunjukkan bahwa keberadaan kalkulator tidak membawa pengaruh negatif. Meskipun data penilaian NAEP (National Assesment of Educational Progress) kedelapan menunjukkan penurunan dalam prestasi bagi siswa yang menggunakan kalku­lator baik mingguan atau setiap hari, penting untuk dicatat bahwa data yang sama menunjukkan hanya 5 persen dari guru-guru yang melaporkan pemakaian kalkulator setiap hari dan hanya 21 persen guru yang melaporkan pemakaian kalkulator mingguan. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh negatif yang spesifik yang dapat mempengaruhi pengguna secara khusus.
Mitos yang mengatakan bahwa pengguna alat bantu hitung seperti kalkulator dapat melupakan ilmu dasar matematika atau memiliki sifat ketergantungan sebenarnya belum terbukti. Memang perlu juga untuk mengotrol mereka dalam penggunaan alat bantu hitung sejenisnya. Pengenalan dasar matematika dan pemahaman konsep awal merupakan ilmu yang wajib diberikan kepada mereka sebelum mereka deibebaskan dalam penggunaan alat bantu hitung sejenisnya. Ditambah lagi, segelintir orang yang berpendapat bahwa orang yang biasa mnggunakan alat bantu hitung akan memiliki sifat ‘perhitungan’ adalah tidak benar adanya.            Kalkulator hanyalah sebuah alat bantu hitung, tidak lebih. Kalkulator bukanlah sebuah “tool” yang bisa mengubah pemikiran seseorang. Positif bahkan negatif yang dapat ditimbulkan sebenarnya bergantung dari penggunanya itu sendiri. Sekarang tinggal bagaimana kita meminimalisir dampak negatif yang ada untuk memaksimalkan dampak positif yang berdaya guna bagi kehidupan.
Satu kalimat yang harus diingat, “Kamu harus tetap berlatih menggunakan otak kamu untuk  menghitung, jangan “malas” dan mudah tergoda untuk buru-buru menyerahkannya kepada kalkulator.” Percayalah, otak kita jauh lebih pintar dari kalkulator itu sendiri.

Malaysia - Indonesia



Belum lagi berakhir duka bangsa Indonesia atas klaim Malaysia terhadap Batik, kali ini giliran Tari Pendet asal Bali yang menjadi sasaran .
Apa sebenarnya yang menyebabkan hal yang sama bisa terulang kembali? Apakah Indonesia sudah tidak peduli dengan property nya sendiri?
Malaysia, negara yang acapkali menjadi topik pembicaraan baik itu di kalangan pers ataupun mahasiswa, lagi-lagi membuat ulah di hati rakyat Indonesia. Berawal dari kemenangan publik Malaysia atas pulau sipadan dan ligitan dari Mahkamah Internasional pada tanggal 17 desember 2002, Malaysia satu persatu mengambil hak milik Indonesia. Yang terakhir adalah tari pendet asal Bali. Untungnya pada 26 agustus 2009, Norman Abdul Halim, produser film dokumenter Malaysia, meminta maaf atas klaim batik dan tari pendet serta menghentikan iklan Enigmatic Malaysia di Discovery Channel.
Sebelumnya Malaysia juga sudah terlebih dulu mengajak bangsa Indonesia untuk ‘berperang’, yang  kebanyakan dimenangi oleh Malaysia tentunya. Anehnya Malaysia malah ‘keasyikan’ dengan kegiatan ‘mencurinya’ itu. Memang menakjubkan! Seperti orang pintar mengatakan “kalau semua pencuri mengaku hasil curiannya maka penjara pasti penuh”. Itu adalah lelucon yang sering diidentikkan dengan Malaysia. Kata-kata itu mulai terdengar di telinga saat mereka satu persatu mereka melakukan klaim terhadap kebudayaan Bangsa Indonesia, yang notabene adalah bangsa yang ramah. Motif Batik Parang yang merupakan pakaian tradisional yang berasal dari Yogyakarta dan Angklung yang merupakan alat kesenian Jawa di klaim sebagai kesenian asli mereka. Tidak cukup sampai disitu saja. Tidak langsung ‘tidur dengan pulas’, melainkan terus mencari celah untuk ‘mencuri’ kebudayaan dari bangsa Indonesia. Hasilnya adalah lagu Rasa Sayange, beberapa kesenian dari suku Dayak dan Reog Ponorogo yang berhasil mereka ambil.
Dan pernah suatu kali Malaysia melalui menteri pariwisatanya mengatakan “ Kami merasa berhak untuk melestarikan budaya bangsa Indonesia karena kami adalah bangsa serumpun”. Kata-kata ini semakin membuat panas rakyat Indonesia. Mengapa tidak, setelah ‘mencuri’, malah berdalih dengan mengatakan bangsa serumpun. Bangsa serumpun bukan berarti bisa sesukanya menyatakan kebudayaan bangsa lain sebagai miliknya. Bangsa serumpun seharusnya adalah bangsa yang saling menghargai bukan sebaliknya. Lihat saja Barongshai yang merupakan kesenian asli dari cina. Kita tidak mengataan bahwa Barongsai adalah kebudayaan kita walupun banyak keturunan cina yang menetap di Indonesia dan mampu untuk memainkan serta membuatnya. Sungguh merupakan kesalahan yang teramat besar jika kita sampai melakukan hal senada seperti yang Malaysia telah lakukan buat kita.
Memang tidak salah jika mereka mengatakan kita adalah bangsa serumpun. Malaysia dahulunya adalah orang Indonesia yang terpisahkan karena  adanya imperialisme.  Jadi dapat ‘ditolerir’ ketika banyak kebudayaan Indonesia yang diamalkan dan diturunkan kepada generasi mereka selanjutnya. Yang menjadi masalah adalah ketika kebudayaan tersebut tidak ‘mendapat cap hitam diatas putih’ sebagai hak milik bangsa Indonesia. Dan kemudian digunakan oleh pihak lain (baca:Malaysia) untuk kepentingan intern mereka. Sungguh tidak adil!
Sejarah menceritakan hubungan Indonesia dan Malaysia dahulu adalah cukup dekat. Malaysia juga menyadari akan hal itu. Keadaan mulai berbeda ketika Mahathir Mohammad, Perdana Menteri Malaysia saat itu menyatakan slogan “Malaysia boleh”. Sejak itu orang-orang negeri jiran mulai merasa dirinya eksklusif dan tidak mau ‘disamain’ lagi sebagai rumpun Melayu-Indonesia. Dan beberapa kesalahan membuat orang Indonesia di cap sebagai bangsa yang inferior sehingga muncul lah istilah indon. Situasi juga semakin memanas karena kekalahan Indonesia atas Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 2002 silam. Dan di akhir tahun 2007, tepatnya tanggal 10-11 Desember, rapat kerja Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) di Jakarta juga berhasil mengungkapkan bahwa kalangan akademis Malaysia ternyata mengincar naskah-naskah Melayu klasik Nusantara sampai ke pelosok timur bangsa kita.
Semua ini merupakan peringatan bagi kita, bukan hanya dijadikan tangisan sesaat saja, tetapi harus ada tindak lanjut yang benar-benar nyata.  Semua unsur harus ikut terlibat aktif, tidak hanya pemerintah melainkan kita semua sebagai warga negara Indonesia.  Misalnya saja, kita telah dikarunia oleh ribuan pulau tetapi masih banyak yang belum mempunyai nama. Apakah kita mau hal yang sama terulang kembali? Inikah yang namanya cinta tanah air seperti pada salah satu syair Lagu Indonesia Raya yang selalu kita kumandangkan? Sebenarnya kita mempunyai banyak kebudayaan tetapi tidak banyak yang mau mempelajari dan melestarikannya. Kita boleh sesekali melihat negeri India. Tidak salah 2 dari 10 orang terkaya di dunia berasal dari India. Ini semua tidak lepas dari kecintaan mereka terhadap kebudayaan nya sendiri. Terbukti dari setiap film ataupun musik yang beredar di luaran selalu ada didalamnya penambahan unsur budaya yang bertujuan memperkenalkan budaya mereka kepada orang lain. Mungkin cara ini dapat kita gunakan sebagai bahan perbaikan kita kedepannya. Atau lihat negara yang pernah hancur lebur yang sekarang menjadi  negara kedua terkaya didunia, Jepang. Mereka mengharuskan kepada setiap orang yang berkunjung ke negaranya, baik itu secara langsung atau tidak langsung, untuk mempelajari kebudayaan mereka terlebih dahulu.
Kita bisa sedikit lega. Sejak bangsa Indonesia kehilangan batik, beberapa instansi ada yang mewajibkan penggunaan  batik di hari tertentu. Yang juga tidak kalah menarik, kawula muda,yang identik dengan cara hidup glamour (baca:hedonisme) sudah tidak canggung dalam penggunaan batik di berbagai acara dan tempat. Ini merupakan suatu kemajuan bangsa tetapi apakah kita harus menunggu ‘dicuri’ dahulu baru kita mau menggunakannya?
Pemerintah sebagai badan eksekutif negara juga tidak boleh lengah dalam bertindak. Cepat, tegas dan pintar adalah yang harus dimiliki pemerintah saat ini. Pemerintah harus secepat mungkin mendata dan mendaftarkan semua kebudayaan milik Indonesia agar ‘pencuri’ tidak bisa berbuat sesukanya lagi. Dan lagi, kita tidak boleh kalah dengan negara sebelah soal urusan pemasaran pariwisata kita ke luar negeri. Dari sektor ini kita akan banyak dikenal oleh bangsa lain. Banyak hal menarik, seperti : tarian, makanan, kerajinan tangan dan berbagai jenis kebudayaan Indonesia lainnya yang bangsa lain yang belum ketahui. Apabila khalayak asing sudah mengenal kebudayaan Indonesia , tentunya akan mempersulit klaim budaya yang ‘tidak berdasar ‘ terjadi lagi. Dan tidaklah menjadi hal yang mustahil apabila suatu saat nanti Indonesia akan menjadi negara dengan pendapatan terbesarnya dari sektor pariwisata. Kita tunggu saja!
Bangsa kita memang masih jauh dari sempurna. Kita masih  berkutat dengan ‘budaya korupsi’, kemiskinan, pengangguran dan keamanan. Tetapi kalau kita semua bergandengan tangan, semua persoalan bangsa ini pasti dapat teratasi. Hillary Clinton pernah mengatakan, “Indonesia adalah model dunia masa depan dimana demokrasi, modernitas, dan Islam berada dalam satu wadah yang sama “.  Pernyataan ini sedikit banyak seharusnya bisa menyayat setiap telinga kita yang mendengarnya. Kalau orang lain berani mengatakan Iya, pantaskah kita mengatakan tidak?
Banyak solusi yang ditawarkan. Sekarang tinggal bagaimana kita menjalankannya.
Cukuplah sudah air mata ibu pertiwi yang jatuh membasahi tanah air kita.
Cukuplah sudah teriakan anak bangsa yang merasakan kehilangan akan barang miliknya.
Majulah Indonesia ku.
Merdeka!