Setiap orang pasti sering mendengar satu kata ini. Ya, itulah sampah. Tidak hanya sering diucapkan tetapi sering juga dilihat keberadaannya, terutama di kota-kota besar di negara kita, Indonesia. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sampah diartikan sebagai barang atau benda yg dibuang karena sudah tidak terpakai lagi. Sampah itu sendiri terdiri dari dua jenis yaitu sampah anorganik dan sampah organik. Sampah anorganik merupakan sampah yang terdiri atas unsur yang tidak dapat diproses secara alami sedangkan sampah organik merupakan sampah yg berasal dr tumbuh-tumbuhan dan mudah mengalami daur ulang. Dan kedua jenis sampah inilah yang acapkali terlihat keberadaannya dimana saja.
Selama ini sampah menjadi masalah yang cukup krusial dalam penanganannya, terutama di kota-kota besar. Menurut catatan Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008, setiap orang di Jakarta menghasilkan rata-rata sampah 2,9 liter per hari. Dengan perkiraan jumlah penduduk sekitar 12 juta jiwa, termasuk para komuter, tiap hari mereka menimbun 26.945 meter kubik atau sekitar 6.000 tong sampah. Dari fakta inilah tercetus ide bagi beberapa kalangan untuk mengelola sampah yang sudah ada sehingga dapat digunakan kembali. Salah satu pihak yang sudah cukup lama bergelut dengan bisnis pengelolaan sampah adalah Rumah Perubahan. Rumah Perubahan yang bertempat di Jl. Raya Hamkam, Pondok Jati Murni Bekasi ini didirikan oleh Hidayat SE bersama Renald Kasali Ph.D. Di tempat inilah mereka melakukan bisnis pengelolaan sampah yang beromzet puluhan juta rupiah perbulan.
Rumah Perubahan didirikan sebagai upaya untuk menjadikan Indonesia yang lebih baik melalui misi perubahan, baik pada level individu, komunitas, organisasi usaha atau sosial dan pemerintah. Rumah Perubahan berperan sebagai katalisator, pusat jejaring dan penggerak untuk mewujudkan potensi itu menjadi sebuah manfaat. “Dimana ada belenggu yang membatasi potensi itu, disitu kami terlibat”, jelas Hidayat. Hingga kini pengelola Rumah Perubahan telah mendampingi sekitar 3000 kepala keluarga yang berdomisili di sekitar kompleks itu, mereka dibina menjadi pengusaha-pengusaha kecil berprestasi diberbagai sektor seperti perikanan hingga bisnis pengelolaan sampah. Bagi Rumah Perubahan, sampah tidak ada yang dibuang, melainkan diolah dan dioptimalkan kegunaannya sehingga mengarah pada kondisi zero waste atau tidak ada lagi barang sisa.
Konsep lain yang telah dilakukan masyarakat dalam pengolahan sampah adalah Waste Management yang telah degeluti oleh Hidayat sejak tahun 1993. Caranya adalah dengan memasang tong sampah kosong di setiap jalan utama kampung lalu dikumpulkan. Setelah terkumpul, kemudian sampah dimasukkan kedalam mesin sortasi. Sampah organik dijadikan kompos, sementara anorganik mengalami proses lebih panjang, yakni melewati mesin pencacah dan pencuci. Hasilnya, sampah plastik yang kondisinya masih bagus dijual untuk didaur ulang oleh pihak lain, sedangkan sampah yang tidak bisa diolah lagi akan dipadatkan untuk dijadikan biomassa. Saat ini Hidayat tengah menjajaki kerja sama dengan Jepang untuk teknologi pengubah plastik menjadi solar dan pengekstraksi gas metan yang ada dalam tanah.
Tentu aktivitas pegelolaan dan pemanfaatan sampah sangat bermanfaat. Selain sampah menjadi sumber pendapatan bagi warga, dengan kita mengelola sampah juga bermanfaat mengurangi dampak global warming. Meraup keuntungan dari barang bekas adalah sebuah alternatif yang cukup baik daripada menimbunnya di rumah menjadi benda tak berguna dan akhirnya menjadi sampah. Di tengah kondisi ekonomi negara kita yang seperti ini, bisnis ini cukup membantu dalam menyerap tenaga kerja. Perputaran penggunaan barang rongsokan yang diperjualbelikan tidak akan habis karena nantinya akan menjadi bahan daur ulang yang siap dipakai lagi. Lebih jauh, masyarakat semakin mengenal teknologi pemanfaatan dan pengelolaan sampah serta dampaknya pada kehidupan manusia. Dan pastinya, akan banyak pihak yang menggantungkan kehidupannya pada bisnis pengelolaan sampah tersebut.
Berbeda dengan kondisi para pebisnis sampah, nasib para “pahlawan lingkungan” atau yang lebih sering dikenal dengan nama pemulung tidaklah seberuntung mereka. Berpenghasilan tidak lebih dari Rp.20.000 setiap hari tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Pemerintah sebagai badan eksekutif, seperti tertulis dalam pasal 34 UUD 1945 seharusnya memperhatikan nasib pemulung dan tidak sekadar menjadikan mereka sebagai objek politis sebagai lokasi untuk mencari simpati seperti dalam pemilu silam. Lebih jauh, pemerintah harus membuat program-program untuk memberdayakan dan meningkatakan ketrampilan para “pahlawan lingkunagan” ini. Fasilitas kesehatan dan pendidikan juga harus disubsidi atau jika memungkinkan diberikan secara cuma-cuma, serta program pembangunan rumah untuk pemulung dapat terus dijalankan dan ditingkatkan. Belum lagi, paradigma masyarakat yang mengatakan bahwa profesi sebagai pemulung yang dianggap buruk harus dihilangkan karena pemulung sebenarnya adalah salah satu pihak yang membantu pemerintah dalam mengurangi sampah.
Kita juga sebagai bagian dari bangsa Indonesia tidak boleh hanya diam saja melihat saudara-saudara kita dalam hidup yang serba kekurangan. Kita bisa ikut membantu mereka secara tidak langsung, misalnya: dengan menyumbangkan baju seragam, tas, sepatu, serta buku dan alat-alat tulis milik kita yang masih layak dipakai. Kita adalah satu, satu didalam bangsa Indonesia. Penderitaan mereka seharusnya menjadi penderitaan kita juga.